Senin, 24 Agustus 2009

Meski Produk Pabrik Membanjir Celengan Tradisional Pleret tetap Disukai

PEMALANG wartapantura Modernitas yang ditandai pesatnya teknologi fabrikan agaknya tak mampu menggoyang eksistensi gerabah tradisional semacam celengan buatan Pleret yang dijajakan di luar daerah asalnya. Buktinya sejak dua bulan lalu berbagai bentuk celengan asal Pleret Kabupaten Purwakarta Jawa Barat, menghias sudut kota Pemalang dengan tampilan berwarna-warni. Salah seorang penjualnya, Mamat (27) mengaku tidak terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk menjual dagangannya. Setiap kembali ke kampung untuk mengambil celengan, ayah dua anak itu membawa sekitar 450 buah untuk dijajakan di Pemalang. “Ya, paling lama satu minggu saya kembali mengambil dagangan,” tutur dia di tempatnya memajang aneka celengan di sudut barat laut Alun-alun, Minggu (23/8). Berarti dagangan yang dia pasarkan terjual dalam seminggu. Sebuah celengan ukuran kecil dipatok harga Rp 10 ribu, sedangkan yang terbesar Rp 40 ribu.

Harga tersebut tentu lebih mahal dibanding celengan plastik buatan pabrik. Tapi menurut dia, orang lebih suka celengan dari tanah liat, karena setelah isi penuh dibuka bagian bawah, celengan bias dijadikan hiasan. “Biasanya ditaruh depan rumah atau malah di atap rumah,” katanya. Celengan buatan pengrajin Pleret menurut Mamat memiliki ciri khas dan perbedaan dengan buatan daerah lain. Selain lebih tebal, jenis tanah liatnya lebih kuat karena tanpa campuran pasir dalam pembuatannya. Karena itulah celengan yang berbentuk singa atau macam bisa diduduki seperti kursi, jelasnya. Gerabah tanah liat Pleret menyebar di berbagai penjuru negeri ini. “Saya pernah berjualan sampai Lampung Bengkulu, Semarang, Brebes, dan kota lain,” akunya. Sudah sebelas tahun Mamat mengais rejeki dengan berjualan celengan. Tak jauh bedanya dengan temannya Gofur (25) yang berjualan di lain lokasi. Soal jauh dekatnya kota tujuan bukan masalah. Urusan mencari nafkah tidak mengenal jarak dan waktu, katanya. Yang belum sempat didatangi Mamat adalah Kalimantan. “Saya mau ke Kalimantan tapi kesulitan kendaraannya, beda dengan waktu ke Bengkulu dan Lampung,” jelasnya.

Celengan yang dijual Mamat dan Gofur terdiri dari sekitar sepuluh bentuk binatang. Ada macan, singa, bebek, ayam jago, kelinci, kucing, kura-kura dan bentuk lainnya. Daya tarik celengan tradisional ini diantaranya terletak dari warna cat yang menyolok dan kontras. Tak heran karenanya setiap melihat seorang anak akan merengak kepada ibunya agar dibelikan. Tentu bagi orang tua, tak sekadar mengeluarkan isi dompet jika memahami adanya makna pembelajaran dari celengan. “Kan kalau beli celengan anak bisa belajar menabung, jadi uangnya bukan habis untuk jajan,” tutur Mamat. Setiap hari sekeping, lama lama bisa menjadi ribuan keping, imbuhnya meyakinkan. Tanpa disadari penjual gerabah celengan seperti Mamat telah melakukan yang terbaik bagi pembeli. Yakni mengajak anak-anak gemar menabung, belajar berhemat, bukan membeli barang karena dorongan pola hidup konsumtif. Celengan harganya hanya puluhan ribu, tapi bisa untuk menyimpan uang ratusan ribu. Kalau dibelikan jajan hanya akan kenyang, apalagi kalau dibelikan kembang api atau mercon, seketika hilang, kelakarnya lugu dan khas. wartapantura/ruslan nolowijoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Administrator

Ruslan Nolowijoyo Hengky Kik

My News Feed

Related Websites

 

Warta Pantura. Copyright 2009 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Hengky Scootman Converted into Blogger Template by Scootman