Sabtu, 05 September 2009

Thamrin Sonata bukukan ‘Kemerdekaan’ Provinsi Banten


PEMALANG (wartapantura) - Thamrin Sonata (51) yang lama menghilang dari kampung halamannya ternyata sejak bulan Juni lalu ‘bersembunyi’ di Banten. Penulis buku ‘Tragedi Semanggi’ dan sejumlah buku laris itu bukan ingin mencari ‘ngelmu’ pada sesepuh atawa jawara. Melainkan dalam rangka penulisan buku memoar berdirinya Provinsi Banten. Dan tentunya dia harus berurusan dengan para tokoh, utamanya Drs H Aceng Ishaq, sang deklarator. Buku tentang memoar Banten itu sendiri menurut Thamrin bakal tersaji dengan kata pengantar Gubernur Hj Ratu Atut Chosiyah, SE. “Sejak dua bulan lalu saya mondar-mandir ke Pandeglang dan sekitarnya untuk ngumpulin data,” tutur seniman itu di sanggarnya Gang Dahlia, Pekunden, Pemalang, Senin (07/9) malam lalu. Untuk mendapatklan data bahan penulisan itu dia harus telusupan kian kemari disamping melakukan survey lapangan dan wawancara sejumlah nara sumber. Lalu mantan wartawan yang merantau ke ibu kota sejak tahun 80-an itu juga ngubek-ubek file di perpustakaan dan melototin layar internet lantaran sejarah berdirinya provinsi ke 30 tersebut juga beredar luas di dunia maya.

Memisahnya Banten dari Jawa Barat (Jabar) sangat menarik disimak. Menurut Thamrin daerah ini memiliki andil pemasukan relatif besar, yakni mencapai 35 persen, namun warganya masih banyak yang hidup miskin dan tertinggal meski mereka tinggal hanya selemparan batu jauhnya dari ibukota negara. ” Lebih jauh menurut dia, menengok ke belakang, Banten pun punya kekhasan : etnis Sunda yang keras, dan tidak tunduk kepada penjajah Belanda “Kita tentu ingat Sultan Ageng Tirtayasa – yang kemudian namanya digunakan sebagai Universitas Negeri wilayah itu,” ungkapnya. Hal lain yang tek mudah dilupakan adalah keberadaan Multatuli,atau Douwes Dekker, sorang Belanda yang membelot dan membela Indonesia. Kisah daerah ini juga tersurat dalam buku Saijah dan Adinda.. Lalu buku legendaries ‘Pemberontakan Kaum Petani Lebak 1888’ karya sejarawan UGM Prof. Sartono Kartodirdjo

Lebih jauh menurut Thamrin, pemisahan Banten tak lepas dari masa transisi: Era Reformasi. Saat penguasa Orde Baru Soeharto jatuh pada Mei 1998, seorang putera daerah Banten Ekky Syahruddin yang duduk di DPR RI menyebutkan : Inilah saat Banten memanfaatkan untuk bisa lepas dari Jabar. Ternyata diam-diam tantangan tersebut disikapi oleh Drs. Aceng Ishak, Ajat, dan Encep Embe dengan membuat spanduk : saatnya Banten mandiri dari Jawa Barat yang waktu itu gubernurnya N. Nuriana. Dan pencetusan dari Mandalawangi, Pandeglang itu terus menggelinding bak bola salju dimana rakyat tanpa diimingi-imingi uang, bergabung dan menyatakan dukungannya. Meski mereka belum mengerti, bagaimana caranya secara persis untuk “Merdeka!”. Tentu perjalanan pun tidak semudah.yang dibayangkan lantaran sebagian dari mereka merasa enak dengan tetap bergabung dengan Jabar. Bahkan di antara mereka menyebut, seperti diucapkan Aceng Ishak “Prov. Banten berdiri, itu hanya mimpi di siang bolong!” Namun akhirnya apa yang didambakan pun menjadi kenyataan. Di lapangan Banten Lama,’Deklarasi Banten’ dikumandangkan. Teksnya dibacakan oleh Aceng Ishak. Ribuan rakyat menghadiri acara bersejarah itu. Dan Provinsi Banten pun berdiri 4 Oktober 2000. Menjadi prov. Ke 30 di negeri tercinta ini

Menurut Thamrin, menjelang ulang tahunnya yang ke 9 buku memoar berdirinya Provinsi Banten merupakan tonggak bagi provinsi yang kaya sumber daya alam tersebut. “Disana ada emas, pertanian, dan pabrik-pabrik yang sudah berdiri semisal Krakatau Steel, Bandara Soekarno-Hatta, pelabuhan Bojanegara, dan Tengerang yang menggeliat pembangunannya.” Terang dia. Ditambahkan pula, kendati masih ada masyarakat masih hidup tradisional, misalnya yang dikenal dengan masyarakat Badui di Lebak Selatan, yang hidup dengan caranya yang khas. Provinsi ini punya keunikan potensi lain seperti halnya Badak Jawa bercula satu yang diduga tinggal 40 ekor saja di Ujung Kulon, Pandeglang. Sosok Thamrin Sonata sebenarnya bukan orang baru di dunia tulis menulis negeri ini. Sejak meninggalkan kota kelahirannya Pemalang sekitar tahun 80-an aktif menjadi wartawan di beberapa media ibu kota. Namun profesinya itu tak berumur panjang karena keasyikannya menulis Buku pertama ditulisnya adalah buku anak-anak pada 1981, menyusula kemudian belasan buku berhasil dia luncurkan. Seperti ‘Tragedi Semanggi’ dengan kata pengantar Prof DR Amien Rais, ‘UU Politik Buah Reformasi Setengah Hati’ dengan kata pengantar DR Andi Mallarangeng. Lalu yang terbaru ‘Bersama Mengeroyok SBY, Bisa?’ dengan pengantar Effendi Gozali, Ph,D. Dan di kampung halamannya sendiri dia juga menulis buku ‘HM Machroes dari Pegundan ke Pendopo’. Selain menulis buku ‘berbau’ politik, Thamrin juga menulis sejumlah novel dan kumpulan cerpen. Dari ketekunannya itu Thamrin pernah mendapat penghargaan atas kemenangannya dalam lomba. Diantaranya sebagai pemenang pertama lomba esai Universitas Islam Riau, pemenang lomba penulisan pariwisata Jakarta dan pemenang penulisan jurnalistik tentang properti yang diadakan Agung Sedayu.(Ruslan Nolowijoyo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Administrator

Ruslan Nolowijoyo Hengky Kik

My News Feed

Related Websites

 

Warta Pantura. Copyright 2009 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Hengky Scootman Converted into Blogger Template by Scootman